Kamis, Februari 26, 2009

Malformasi Anorektal

Pendahuluan
            Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus digestivus tidak terjadi. Malformasi anorektal merupakan kerusakan berspektrum luas pada perkembangan bagian terbawah dari saluran intestinal dan urogenital. Banyak anak-anak dengan malformasi ini memiliki anus imperforata karena mereka tidak memiliki lubang dimana seharusnya anus ada. Walaupun istilah ini menjelaskan penampilan luar dari anak, istilah ini lebih ditujukan pada kompleksitas sebenarnya dari malformasi. Ketika malformasi terjadi, otot dan saraf yang berhubungan dengan anus juga sering mengalami malformasi dalam derajat yang sama. Tulang belakang dan saluran urogenital juga dapat terlibat. Malformasi anorektal terjadi setiap 1 dari 5.000 kelahiran. Malformasi ini lebih sering terjadi pada pria dan pria dua kali lebih banyak mengalami malformasi anorektal letak tinggi atau intermediet. Empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih defek tambahan dari sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang paling sering berkaitan dengan malformasi anorektal, diikuti defek pada vertebra, ekstrimitas dan sistem kardiovaskular. Manajemen dari malfomasi anorektal pada periode neonatal sangatlah krusial karena akan menentukan masa depan dari sang anak. Keputusan yang paling penting adalah apakah pasien memerlukan kolostomi dan diversi urin untuk mencegah sepsis dan asidosis metabolik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang anatominya, diagnosis yang lebih cepat dari malformasi anorektal dan defek yang berkaitan dan bertambahnya pengalaman dalam memanajemen, akan didapatkan dengan hasil yang lebih baik.
         Kerusakan yang paling sering terjadi pada pria adalah anus imperforata denga fistula rektouretra, diikuti fistula rektoperineum kemudian fistula rektovesika atau bladder neck. Pada wanita, yang tersering adalah defek rektovestibuler, kemudian fistula kutaneusperineal. Yang ketiga yang tersering adalah persisten kloaka. Lesi ini adalah malformasi yang berspektrum luas dimana rektum, vagina, dan traktus urinarius bertemu dan bersatu membentuk satu saluran. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat satu lubang saja pada perineum. Dan terletak dimana uretra biasanya ada. Pada keaadaan ini, genital eksternanya hipoplastik.
           Cara berpikir dan bertindak dalam menangani malformasi anorektal banyak berubah sejak tahun 1980-an. Douglas Stephen dan Durham Smith (1965) (FD Stephen dan ED Smith keduanya ahli bedah anak dari Melbourne, Australia) yang pertama menganjurkan penanganan malformasi anorektal sesuai letak ujung atresia terhadap otot dasar panggul (levator ani), sehingga timbul pembagian anomali tersebut menjadi supra levator, translevator dan intermediet (konsensus international, Melbourne 1970).
          Alberto Pena dan de Vries (1982) (A Pena, ahli bedah anak Mexico dan P de Vries, ahli bedah anak Kansas, USA) memperkenalkan cara eksplorasi malformasi anorektal melalui deseksi postern sagital mulai dari os coccygeus ke distal tanda anus melalui garis tengah. Deseksi ini dapat memperlihatkan komponen otot dasar panggul dan jugs ketiga ikat serabut sfingter ani eksterna yang diabaikan pada metode yang terdahulu. Cara operasi seperti ini dikenal dengan nama postern sagital anorektoplastik. Suatu konsensus international tentang malformasi anorektal ini diadakan di Wingspread (1984), sehingga timbul klasifikasi Wingspread yang membedakan malformasi pada laki-laki dan wanita menjadi 2 golongan.

Embriologi
 
            Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut dan Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm / analpit .

              Hindgut membentuk sepertiga distal dan kolon tranversum , kolon desenden, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. Endoderm hindgut ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.
              Bagian akhir hindgut bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membrana kloaka.
             Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus urogenitalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di daerah ini terbentuklah korpus perinealis. Membran kloakalis kemudian terbagi menjadi membrana analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan.
              Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan mesenkim, dan pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm, yang dikenal sebagai celah anus atau proktoderm. Pada minggu ke-9 membran analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dengan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nadi hindgut, yaitu arteri mesenterika inferior. Akan, tetapi sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh aa. Rektales, yang merupakan cabang dari arteri pudenda interna. Tempat persambungan antara bagian endoderm dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng.
           Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.
               Tahap-tahap pertumbuhan terjadi pada formasi anatomi normal dari bagian bawah yaitu anus, rektum dan saluran urogenital. Pada minggu ke-4 pertumbuhan terdapat kloaka dan struktur yang disebut membran kloaka. Kloaka adalah struktur normal pada burung dan ada pada manusia untuk waktu yang singkat pada tahap pertumbuhan. Sebelum manusia lahir, kloaka adalah struktur dimana kolon, saluran urin, dan genital bermuara kemudian keluar dari tubuh melalui satu lubang. Manusia melalui suatu tahap pertumbuhan dimana kloaka merupakan struktur yang normal, kemudian tumbuh lubang yang terpisah untuk rektum dan traktus urin dan pada wanita juga terbentuk vagina. Perkembangan normal ini juga terjadi pada perkembangan struktur yang disebut membran kloaka. Jika membran ini tidak berkembang normal, kloaka mungkin masih terdapat setelah kelahiran pada wanita atau pada pria akan berkembang bentuk dari anus imperforata.

Anatomi dan Fisiologi

             Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal anus dan rektum ini maka perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan limfanya juga berbeda, demikian pula epitel yang menutupinya. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar.
           Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis, epitel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fisura anus nyeri sekali.
           Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang v.iliaka. Distri¬busi ini menjadi penting dalam upaya memahami cara penyebaran keganasan dan infeksi serta terbentuknya hemoroid. Sistem limf dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limf sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limf paraaorta melalui kelenjar limf iliaka interna, sedangkan limf yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar inguinal.
           Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya mengarah ke ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat Pada saat defekasi sudut ini menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis mukokutan, linea pektinata, atau linea dentata. Di daerah ini ter¬dapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang terjadi di sini dapat menimbulkan abses, anorektum yang dapat membentuk fistel. Lekukan antar-sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur
              Usus besar terdiri atas kolon, rektum dan anus. Di dalam kolon tidak terjadi pencernaan. Sisa makanan yang tidak dicerna di dorong ke bagian belakang dengan gerakan peristaltik. Air dan garam mineral diabsorbsi kembali oleh dinding kolon yaitu kolon ascendens. Sisa makanan berada pada kolon selama 1 sampai 4 hari. Pada waktu pembusukan dibantu oleh bacteria E. Coli. Selanjutnya dengan gerakan peristaltik, sisa makanan terdorong sedikit demi sedikit ke tempat penampungan tinja yaitu di rektum. Apabila lambung dan usus halus telah terisi makanan kembali akan merangsang kolon untuk melakukan defekasi (reflek gastrokolik). Peregangan rektum oleh feses akan mencetuskan kontraksi reflek otot-otot rektum dan keinginan BAB pada saat tekanan rektum meningkat sampai sekitar 18 mmHg. Apabila tekanan ini mencapai 15 mmHg, sfingter interior maupun eksterior melemas dan isi rektum terdorong keluar. Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter eksterior tercapai, terjadilah kontraksi otot-otot abdomen (mengejan), sehingga membantu refleks pengosongan rektum yang teregang.
          Distensi dari rectum oleh feses menginisiasi kontraksi reflex dari otot-ototnya dan membuat keinginan untuk BAB. Pada manusia, saraf simpatis mensuplai sfingter anal interna sebagai eksitatori, dimana parasimpatisnya sebagai inhibitor. Sfingter ini rileks ketika rectum distensi. Suplai saraf ke sfingter anal eksterna, otot skeletal berasal dari saraf pudenda. Sfingter ini terjaga dalam keadaan kontraksi tonik, dan adanya distensi yang bertambah pada rectum akan menambah tekanan dari kontraksi otot. Keinginan untuk BAB pertama kali muncul pada saat tekanan rectum sekitar 18 mmHg. Ketika tekanan mencapai 55 mmHg, sfingter interna maupun eksterna rileks dan isi dari rectum dikeluarkan.
               Kontinensia berhubungan dengan fungsi normal dari otot sfingter yang mengelilingi anus dan rektum dan derajat dimana mereka ada dan mendapatkan stimulasi saraf yang cukup. Perkembangan sakrum terjadi pada saat yang sama dengan perkembangan anus, rektum, dan sfingter. Ini adalah hal yang penting karena saraf yang terletak dekat sakrum yang mensuplai otot sfingter yang mengontrol kontinensia. Jika sakrum tidak berkembang normal, saraf ini mungkin tidak berkembang atau tidak berfungsi normal. Pada perkembangannya terdapat reseptor sensori pada garis dasar dari anal kanal yang penting untuk kontinensia. Bagian ini mungkin tidak ada pada anak dengan anus imperforata. Nomalnya manusia memiliki 3 kelompok otot di sekitar anus dan rektum yang penting untuk kontinensia. Sfingter eksterna, sfingter interna, dan kompleks levator. Anak yang lahir dengan anus imperforata memiliki disfungsi atau tidak adanya komponen ini. Sfingter interna dan eksterna mengontrol kemampuan untuk membuat anus menutup. Beberapa bagian dari muskulus levator ani berbentuk seperti kerucut yang mengelilingi anus dan rektum. Ketika otot ini mengkerut maka rektum akan tertarik ke depan menambah sudut usus besar sebelum masuk anal kanal. Sudut rektoanal yang tepat dapat membantu mempertahankan kontinensia dengan manghambat feses yang terbentuk memasuki anal kanal. Otot levator juga disuplai oleh saraf yang dekat dengan sakrum, hal ini penting jarena sebagai aturan umum, jika ada bagian dari sakrum yang hilang maka saraf yang berhubungan dengan sakrum tersebut mungkin juga tidak ada.

Inervasi
              Inervasi dari rectum melalui saraf simpatis dan parasimpatis, saraf simpatis berasal dari segmen L1-3, membentuk plexus mesenterikus inferior, melewati plexus hipogastrik superior, dan turun sebagai saraf hipogastrik untuk plexus pelviks.
             Saraf parasimpatis berasal dari sacral dua, tiga, dan empat dan bergabung dengan saraf hipogastrik anterior dan lateral menuju ke rectum dan membentuk plexus pelviks, dan dimana serat lewat untuk membentuk plexus periprostatik. Setelah melewati plexus pelvis dan periprostatik Serat saraf simpatik dan parasimpatik menuju rectum dan sfingter anal juga prostat, buli-buli, dan penis. Cedera pada saraf ini dapat menyebabkan impotensi, disfungsi buli-buli, dan kehilangan mekanisme normal dari defekasi.
          Sfingter interna diinervasi oleh serat dari simpatik dan parasmpatik. Keduanya merupakan inhibitor dan menahan sfingter dalam keadaan kontraksi yang konstans. Sfingter eksterna adalah otot skeletal yang diinervasi oleh saraf pudendan dengan serat yang berasal dar S2-4. 
               Segmen saraf yang berasal dari bagian sakrum mensuplai anus dan rektum, uretra, buli-buli, dan vagina, termasuk berbagai komponen dari kompleks levator ani (otot dan pelvis). Saraf ini juga berfungsi sebagai reseptor sensoris kulit pada anus dan kulit sekitarnya. Batas dari anal kanal dan kulit di sekitar anus sangtlah sensitif terhadap rasa sakit, sentuhan dingin, tekanan, regangan, dan gesekan. Bukti menunjukkan bahwa reseptor sensori yang sejenis terdapat pada otot-otot pelvis yang mengelilingi. Reseptor ini dapat membedakan isi rektum yang keras, cair, atau gas. Anal kanal dan rektum di atas batas anal adalah yang paling tidak sensitif terhadap nyeri tetapi sangat sensitif terhadap regangan. Kontinensia feses terhadi pada saat batas anal, dinding rektum, dan otot yangmengelilinginya menerima sensasi yang cukup dan diproses secara normal pada otak dan kemudian sinyal yang cukup dikirim kembali ke berbagai otot yang mengontrol kontinensia. Pada keadaan yang normal anal kanal tertutup kecuali ketika terjadi pergerakan usus. Ketika defekasi terjadi, tekanan abdomen meningkat dan menyebabkan dinding pelvis melemah dan otot-otot yang membuat kontinensia menjadi rileks.


Patofisiologi  
             Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki2 biasanya letak tinggi , umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). pada letak rendah fistula menuju ke urethra (rektourethralis).
                Atresia anorektal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses pemisahan. Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius yang terletak di depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang melakukan penetrasi sampai perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra levator, septum urorektal turun secara tidak sempurna atau berhenti pada suatu tempat jalan penurunannya 
                Urorektal dan rektovaginal bisa terjadi karena septum urorektal turun ke bagian kaudal tidak cukup jauh, sehingga lubang paling akhir dari hindgut berbelak ke anterior sehingga lubang akhir hindgut menuju ke uretra atau ke vagina. Atresia rektoanalmungkin dapat meninggalkan jaringan fibrous atau hilangnya segmen dari rektum dan anus, defek ini mungkin terjadi karena adanya cedera vaskular pada regio ini sama dengan yang menyebabkan atresi pada bagian lain dari usus. Anus imperforata terjadi ketika membran anal gagal untuk hancur. 

Anomali yang berkaitan
            Sekitar 60% dari pasien memiliki anomali yang berasosiasi. Yang paling sering adalah defek pada saluran urin, yang terjadi sekitar 50% dari pasien. Defek pada skeletal juga sering terjadi dimana sakrum merupakan yang sering terlibat. Banyak dari anomali asosiasi merupakan hal yang serius dan prognosis jangka panjang dari anak dengan malformasi anorektal lebih bergantung pada keadaan anomali yang berasosiasi ini dibandingkan dengan malformasi anorektal itu sendiri. Jadi deteksi dini dari anomali ini sangatlah penting. Periode embriologi pada saat ujung kaudal dari fetus berdiferensiasi (5-24 minggu) merupakan waktu dimana sistem tubuh lainnya juga sedang berkembang. Sehingga tidak sulit untuk membayangkan jika terjadi defek embriologi pada waktu ini yang menyebabkan malformasi anorektal juga akan menyebabkan insidensi yang tinggi dari anomali lainnya. Istilah “asosiasi VACTERL” telah ditentukan untuk menunjukkan grup non-acak dari anomali yang berkaitan. 

Klasifikasi

           Melbourne membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang melewati ischii kelainan disebut : 
• Letak tinggi rektum berakir diatas m.levator ani (m.pubo coxigeus)
• Letak intermediet akhiran rektum terletak di m.levator ani 
• Letak rendah akhiran rektum berakhir bawah m.levator ani  
 
           Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rektum

            Modifikasi Klasifikasi (Wingspread 1984)
Penggolongan anatomis untuk terapi dan prognosis: 
Laki-laki:
Golongan I Tindakan
1. Fistel urine Kolostomi neonatus
2. Atresia rekti Operasi definitif
3. Perineum datar Usia 4-6 bulan
4. Tanpa fistel. Udara > 1 cm
 dari kulit pada invertogram

            Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak puntung distal rektum terhadap marka anus di kulit peritoneum. Pada teknik bayi diletakkan erek terbalik (kepala di bawah) atau tidur telungkup (prone), dengan sinar horisontal diarahkan ke trohanter mayor. Dinilai ujung udara yang ads di distal rektum ke marka anus.

Golongan II Tindakan
1. Fistel perineum
2. Membran anal meconeum tract Operasi definitif pada neonatus
3. Stenosis ani Tanpa kolostomi
4. Bucket handle
5. Tanpa fistel. Udara <> 1 cm
 dari kulit pada invertogram

Golongan II Tindakan
1. Fistel perineum
2. Stenosis Operasi definitif pada neonatus
3. Tanpa fistel. Udara > 1 cm
dari kulit pada invertogram

Diagnosis

• Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
• Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula
• Bila ada fistula pada perineum (mekoneum +) kemungkinan letak rendah
          Untuk menegakkan diagnosis Malformasi anorektal adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan perineum yang teliti .
               Persisten kloaka dapat didiagnosa secara klinik. Adanya lubang tunggal pada perineum merupakan suatu petunjuk klinik dari kloaka persisten. Genitalia eksternanya sering berukuran kecil. Pada pemeriksaan abdomen terkadang dapat ditemukan massa pada abdomen, yang mungkin merupakan vagina yang mengalami distensi (hidrokolpos) dan ini ada pada 50% pasien dengan kloaka persisten.

PENA menggunakan cara sebagai berikut: 
1 Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urine bila : 
• Fistel perianal (+) , bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah, dilakukan Minimal PSARP tanpa kolostomi
• Mekoneum (+) atresia letak tinggi dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif. 
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram .Bila
• Akhiran rektum <> 1 cm disebut letak tinggi 
Pada laki-laki fistel dapat berupa rectovesikalis, rektourethralis dan rektoperinealis. 
 
2 Pada bayi perempuan 90 % malformasi anorektal disertai dengan fistel. Bila ditemukan 
• Fistel perineal (+) minimal PSARP tanpa kolostomi. 
• Fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. 
• Fistel (-) invertrogram : 
- Akhiran <> 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu 
 
              Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal berarti letak rendah . Bila Pada pemeriksaan Fistel (-) Letak tinggi atau rendah 
              Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertical dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
 
A. Pemeriksaan klinis
1. pemeriksaan neonates secara keseluruhan untuk mengetahui umur kehamilan, berat, temperature, warna, tangisan, pernapasan, ada tidaknya jaundice, distensi abdomen, septicemia, dan anomaly congenital lainnya.
              Yang harus dipertimbangkan adalah: a. dengan malformasi apakah bayi tersebut lahir, b. apa yang sudah diakibatkan malformasi tersebut pada bayi.
2. Pemeriksaan untuk menentukan tipe dan asal dari anomaly. Secara klinik dapat dilakukan pada bayi perempuan tetapi tidak semua bayi laki-laki. Pada wanita jumlah lubang pada perineum sangatlah signifikan. Jika terdapat tiga lubang berarti masalah dapat diatasi cukup dari perineum, sedangkan jika hanya ada dua atau satu lubang berarti memerlukan pembedahan. 
3. Ada atau tidaknya anomali yang berkaitan. Periode embriologi pada saat ujung kaudal dari fetus berdiferensiasi (5-24 minggu) merupakan waktu dimana sistem tubuh lainnya juga sedang berkembang. Sehingga tidak sulit untuk membayangkan jika terjadi defek embriologi pada waktu ini yang menyebabkan malformasi anorektal juga akan menyebabkan insidensi yang tinggi dari anomali lainnya. Istilah “asosiasi VACTERL” telah ditentukan untuk menunjukkan grup non-acak dari anomali yang berkaitan.

1. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan rutin tetap harus dilakukan untuk mencari ke lain-lain 50% sampai 60% penderita ini mempunyai kelainan kongenital di tempat lain.
Yang sering ditemukan adalah:
a. pada traktus genito urinarius 
b. kelainan jantung 
c. traktus gastrointestinal, misalnya atresia esofagus, atresia duodenum 
d. tulang, misalnya tulang radius tidak ada.

2. Pemeriksaan khusus untuk kelainan anorektal
a. Wanita
Umumnya pada 80-90% wanita ditemukan fistula ke vestibulum atau vagina, hanya pada 10-20% tidak ditemukan fistel.
Golongan 1
1. Kloaka
Pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus digestivus tidak terjadi. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.
2. Fistel vagina
Mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses bisa tidak lancar, sebaiknya cepat dilakukan kolostomi.
3. Fistel vestibulum
Muara fistel di vulva di abwah vagina. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.
4. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemerik¬saan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera dilakukan kolos¬tomi.
5. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada eva¬kuasi sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan 2
1. Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal. Dapat berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marks anus yang rapat ada di posteri¬ornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
2. Stenosis ani
Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar. Sebaiknya secepat mungkin lakukan tetapi definitif
3. Tanpa fistel
Udara <>
             Dari kedua hal tersebut di atas pada anak laki dapat dibuat golong¬an-golongan seperti berikut:
Golongan 1
1. Fistel urine
Tampak mekonium keluar dari orificium urethrae ekster¬num. Fistula dapat terjadi bila terdapat fistula baik ke ure¬thra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis untuk membedakan lokasi fistel ialah dengan memasang kateter urine. Bila keteter terpasang dan urine jernih, berarti fistel terletak di urethra yang terhalang kateter. Bila dengan kateter, urine berwarna hijau, berarti fistel ke vesika urinaria. Evakuasi feses tidak lancar, dan penderita mernedukan kolostomi segera. 
2. Atresia rekti. Sama dengan wanita. Perineum datar. Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk sempurna.
3. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Karena tidak ada evakuasi feses maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan 2
1. Fistel perineum. Sama dengan wanita.
2. Membran anal. Anus tertutup selaput tipis dan sering tam¬pak bayangan jalan mekonium di bawah kulit. Evaluasi feses tidak ada. Secepat mungkin sebaiknya dilakukan terapi definitif.
3. Stenosis ani. Sama dengan wanita.
4. Bucket handle (gagang ember).
 Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember. Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
5. Tanpa fistel
 Udara <>

Penatalaksanaan 

             Penatalaksanaan malformasi anorektal tergantung klasifikasinya. Pada malformasi anorektal letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan malformasi anorektal menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasty, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel .
                Bedah tradisional tidak memperbolehkan tindakan pada bagian posterior midline Karena otot pada bagian ini dipercaya menyebabkan inkontinensia pada anak-anak. Sehingga pendekatan dokter bedah untuk malformasi ini menggunakan kombinasi melalui, abdomen, sacral, dan perineum dengan lapang pandang yang terbatas
                Abdominoperineal pullthrough dilakukan dengan membuka rongga abdomen agar mendapat visualisasi yang jelas dan identifikasi yang tepat dari otot puborektalis. Pada operasi “pullthrough” ini bagian usus yang terbawah dimobilisasi, dan saluran baru dibuat melalui dinding pelvis dengan menggunakan satu pasang forsep kurva melaluinya, dipertahankan agar tetap dekat dengan uretra, menuju letak dari anus yang baru dimana rectum dijahit dengan kulit perineum, membentuk hubungan mukokutaneus.
                  Secara umum, ketika terdapat lesi letak rendah, yang diperlukan hanyalah operasi daerah perineal tanpa kolostomi, sedangkan lesi letak tinggi memerlukan kolostomi segera setelah lahir. Ketika terdapat kloaka persisten, saluran urin perlu dievaluasi lebih teliti pada saat membuat kolostomi untuk memastikan bahwa pengosongan yang normal dapat terjadi dan menentukan apakah buli-buli perlu didrainase dengan vesikostomi. Jika ada keraguan terhadap jenis lesi, lebih aman untuk melakukan kolostomi daripada membahayakan kesempatan jangka panjang kontinensia pada bayi dengan melakukan operasi perineal yang tidak tepat.
                Keberhasilan penatalaksanaan malformasi anorektal dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai Goalnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik. 
                    Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula. 
                         Leape (1987) menganjurkan pada :
• Atresia letak tinggi & intermediet sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP) 
• Atresia letak rendah perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus,  
• Bila terdapat fistula cut back incicion 
• Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin , berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. 
 
                   Pena secara tegas menjelaskan bahwa Malformasi anorektal letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini tehnik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti
                       Prinsip pengobatan operatif pada malformasi anorektal dengan eksplorasi postero sagital anorektal plastik, akan banyak menggunakan kolostomi perlindungan atau kolostomi sementara. Ada dua tempat kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi, yaitu: transversokolostomi (kolostomi di kolon transversum) dan sigmoidostomi (kolostomi di sigmoid). Bentuk kolostomi yang mudah dan aman adalah laras ganda (double barrel).
Kolostomi dilakukan pada saat neonates, manfaat melakukan kolostomi adalah
a. mengatasi obstruksi usus 
b. memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
c. memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain. 

              Setelah dilakukan kolostomi, tindakan definitif akan dilakukan 3-4 bulan kemudian. Dengan alasan pasien diharapkan telah memiliki keadaan umum yang baik, fungsi peristaltis dari pasien sudah membaik. Dan komplikasi-komplikasi untuk tindakan bedah sudah teratasi seperti gangguan sirkulasi, gangguan jalan napas, dan keseimbangan cairan elektrolit telah terjaga. Kenapa diambil waktu 3-4 bulan karena menurut Albanese et al, semakin cepat perbaikan dari suatu malformasi keongenital semakin baik hasil yang didapatkan dan juga lebih cepat untuk melatih reflex defekasi dari otak merupakan hal yang sangat penting

Teknik operasi definitif.
Posterior sagitral anorektoplasti
Prinsip operasi:
1. Bayi diletakkan tengkurap
2. Sayatan dilakukan di perineum pada garis tengah, mulai dari ujung koksigeus sampai batas anterior marks anus.
3. Tetap bekerja di garis tengah untuk mencegah merusak saraf.
4. Ahli bedah harus mengenal dan melakukan preservasi seluruh otot.
5. Tidak menimbulkan trauma struktur lain.

Perawatan Pasca Operasi PSARP

• Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari. 
• 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2x sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran ynag sesuai dengan umurnya .
Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk

UMUR UKURAN
1 – 4 Bulan # 12
4 – 12 bulan # 13
8 – 12 bulan # 14
1-3 tahun # 15
3 – 12 tahun # 16
> 12 tahun # 17
 
FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dal;am 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
 

            Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan sertsa tidak ada rasa nyeri dilakukan 2x selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.


Prognosis
1. Dengan menggunakan klasifikasi di atas dapat dilakukan evaluasi fungsi klinis:
a. kontrol feses dan kebiasaan buang air besar;
b. sensasi rektal dan soiling;
c. kontraksi otot yang baik pada colok dubur.
2. Evaluasi psikologis
Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau sensasi saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orang tua dan kooperasi serta keadaan mental penderita.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Atresia Ani. Available from http://www.bedah–ugm.net (accessed: 1st January 2009).

Bhargava P, Mahajan J. K, Kumar A. 2003. Anorectal Malformations in Children. J Indian Assoc Pediatric Surgery/Jul-Sept/Vol 11/Issue 3

Brunicardi F C. 2003. Schwartz’s principal of surgery: eight edition. New york: McGraw-Hill medical publishing division

Chandler L R. Congenital Malformations Of The Rectum And Anus: Their Surgical Treatment. California And Western Medicine Journal Vol. 51, No. 2

Joseph D. 2005. Management Of Anorectal Malformations And Hirschsprung Disease In Guyana. Dept. of Pediatric Surgery Georgetown Public Hospital Corporation

Kella N, Memon A B, Qureshi G. A. 2006. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal Malformation in Children. World Journal of Medical Sciences 1 (2): 151-154

Mittal A, et al. 2004. Associated Anomalies with Anorectal Malformation. Indian Journal of Pediatrics, Volume 71--June, 2004 

O'Neill. 2003. Principle of Pediatric Surgery: Imperforate Anus. Elsevier

Sadler T W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman: edisi ke-7. Jakarta: EGC penerbit buku kedokteran

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi 2. Jakarta: EGC penerbit buku kedokteran

Thayeb. A. Malformasi Anorektal. Pada: Reksoprodjo, S editor. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara



Selasa, Februari 24, 2009

TETANUS pada anak

oleh: I Dewa Ayu Vanessa

Pendahuluan

Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1).

Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula (2). Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (4).


Batasan

Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran (3). Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman (1).


Etiologi

Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan panas, antiseptic, dan jaringan tubuh, sampai berbulan-bulan. Kuman yang berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa menyebar lewat debu atau tanah yang kotor, dan mengenai luka (5). Clostridium tetani merupakan kuman gram positif, menghasilkan eksotoksin yang neurotoksik, dapat larut dan O2 labil (6).


Epidemiologi

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-mana.

Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui :

1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.

2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.

3. OMP, caries gigi.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.

5. Penjahitan luka robek yang tidak steril (1).


Patogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti (3).


Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang (2).

Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :

-Tahap awal

Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.

-Tahap kedua

Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.

Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

-Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan (5).

Secara klinis, tetanus dibedakan atas :

1) Tetanus lokal

Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.

2) Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.

3) Tetanus sefalik

Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di kepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai prognosis buruk (2).


Komplikasi

1. Laserasi otot

2. Fraktur

3. Eksitasi syaraf simpatis

4. Infeksi sekunder oleh kuman lain

5. Dehidrasi

6. Aspirasi (6).


Langkah Diagnostik

Anamnesis

· Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.

· Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.

Pemeriksaan fisik

· Adanya kekakuan lokal atau trismus.

· Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.

· Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit (3).


Diagnosis Banding

1. Infeksi : meningoensefalitis, polio, rabies, lesi orofaring, peritonitis.

2. Gangguan metabolik : tetani, keracunan strichnin, reaksi fenotiasin.

3. Penyakit SSP : status epileptikus, perdarahan atau tumor.

4. Gangguan psikiatri : histeria (6).



Tatalaksana

Terapi dasar tetanus :

Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi

· Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau

· Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam

Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.

Imunisasi aktif-pasif

· Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.

· Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.

Anti konvulsi

Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :

· Bila datang dengan kejang diberi diazepam :

- neonatus bolus 5 mg iv

- anak bolus 10 mg iv

· Dosis rumatan maximal :

- anak 240 mg/hari

- neonatus 120 mg/hari

· Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.

· Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari)

· Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.

Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.

Terapi suportif

· Bebaskan jalan nafas

· Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)

· Pemberian oksigen

· Perawatan dengan stimulasi minimal

· Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang

· Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum

· Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Tetanus ringan dan sedang

Diberikan pengobatan tetanus dasar

Tetanus sedang

· Terapi dasar tetanus

· Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)

· Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.

Tetanus berat/sangat berat

· Terapi dasar seperti di atas

· Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi

· Balans cairan dimonitor secara ketat.

· Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam.

· Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol (3).


Pencegahan

1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien termasuk adanya jaringan mati dan nanah.

2. Pemberian ATS profilaksis.

3. Imunisasi aktif.

4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara perawatan tali pusat.

5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu dan lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya pemeriksaan lanjutan (1).

I. Imunisasi aktif

a. Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).

b. Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).

II. Pencegahan pada luka

  • Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
  • Luka ringan dan bersih

- Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin

- Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.

· Luka sedang/berat dan kotor

- Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.

- Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U (3).


Monitoring

I. Sekuele

  • Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama.
  • Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.
  • Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang

  • Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
  • Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat (3).


DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available from : www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc. Accested : Oct 16, 2007.

2. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from : www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accested : Oct 16, 2007.

3. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from : www.pediatrik.com. Accested : Oct 16, 2007.

4. Silalahi, L., 2004. Tetanus. Available from : www.tempointeraktif.com. Accested : Oct 16, 2007.

5. Tami, 2005. Tetanus, Infeksi yang Mematikan. Available from : www.jilbab.or.id/content/view/456/36/. Accested : Oct 16, 2007.

6. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.